“Ngenest” di penghujung 2015

Di penghujung tahun 2015 dapet kesempatan untuk menghadiri gala premiere film “Ngenest”. Film bergenre drama komedi yang diangkat dari trilogi buku “Ngetawain Hidup ala Ernest” ini dibintangi dan disutradarai sendiri oleh si penulisnya langsung Ernest Prakasa. Sebelum bergelut di dunia cinematografi, Ernest sendiri sudah lebih dulu terkenal sebagai seorang komika (Stand Up Comedian).
IMG_20151228_194826

“Terima kasih udah nonton film papa aku..”, ujar Sky sesaat sebelum pemutaran perdana film Ngenest

Film keluaran StarVision ini bercerita tentang keresahan Ernest sebagai seorang keturunan Cina. Sejak masa kecilnya, ia sering di-bully sekitarnya hingga meninggalkan trauma mendalam di diri Ernest. Ia pun bertekad untuk menikah dengan pribumi agar keturunannya tidak mengalami kepahitan yang ia rasakan sebagai keturunan Cina.

Menurut saya, ini adalah film Indonesia terbaik tahun 2015! Bagaimana tidak?! Alur cerita pas, tidak berlebihan. Pacing juga terasa pas, gak bikin ngantuk, sukses pula memainkan emosi penonton hingga mencapai klimaks. Perasaan sepanjang nonton pun campur aduk, dari senang, miris, kzl, sedih (sampai menitikan air mata!), sampai bahagia lagi.. Konten cerita juga disampaikan dengan sangat keren! Meski sarat komedi namun message utama keresahan Ernest tetap kental terasa. Saya bahkan bisa bilang this movie is really touchy!

Selepas nonton, Ernest dan keluarga stand by di pintu keluar studio (mungkin) untuk kasih kesempatan para penonton untuk bisa berinteraksi atau ngasi feedback langsung ke dia. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Mungkin Ernest masih ingat. Saat itu saya bilang ke dia, “Filmnya bagus, saya jadi sedih!”

Ernest (mungkin) bingung, dia bilang, “Koq sedih? Seneng dong mestinya..”

*kebanyakan “mungkin” yaa.. biar samaan ama sontreknya gituu, hihihi… I love the soundtrack by The Overtunes as well!!!

IMG_20151228_192225

Nonton duluan sebelum rilis 30 Desember 2015 lalu 😉

Yang sebenarnya mau saya katakan tuh begini… Maaf ini agak spoiler buat yang belum nonton. Sepertiga (atau seperempat) bagian terakhir film ini adalah bagian terpenting, yang kalau eksekusinya buruk maka gak bakalan ninggalin kesan yang mendalam bahkan bikin penonton (at least gue) jadi sedih. Di bagian tersebut diceritakan kekalutan Ernest karena pasangannya (Meira) makin gencar minta dibuahi (aduh, diksi gue parah banget… ya gitu lah maksudnya.. ngerti kan) karena sudah tidak sabar ingin punya anak. Long short story, Ernest setuju kemudian diceritakan Meira hamil dan Ernest makin hari makin kalut menanti kelahiran buah hatinya (yang ada kmungkinan memiliki ciri fisik orang Cina). Entah ini beneran atau gak (di buku sih bagian kekalutan ini kayaknya ga ada yah kan yah?! Belum baca ulang nih saya) tapi nuansa efek bullying jaman masih muda itu berasa banget. Terlihat ekspresi keputusasaannya yang meskipun sudah berhasil nikah ama pribumi tapi masih ada juga kemungkinan anaknya memiliki ciri fisik keturunan Cina.

And that makes me sad!

Yang berkeliaran di kepala gue: “Gila ya, Bullying effect sampai segitunya banget!!” Rasanya pengen jitakin satu-satu bocah-bocah hingga orang dewasa yang hari gini masih aja ngebully orang lain hanya karena alasan beda suku, agama, ras, IQ, kelas sosial, dan alasan-alasan gak penting lainnya.

Trus bikin gue jadi pengen balik jadi so-called aktivis anti-bullying yang ngasih training ke sekolah-sekolah di bawah payung Yayasan Sejiwa atau Kampus Psikologi UI like the old days… Iya, nanti gue ceritain di postingan yang lain yah soal aktivitas gue ini. Sekarang kan lagi bahas soal film Ngenest! Hehehe..

Okeh, mari balik bahas filmnya.

Thanks to Arie Kriting yang katanya berperan untuk mengoptimalkan unsur-unsur komedi yang betebaran di film ini. Aselik, lucuknya asik.. Gak maksa and so natural!! Banyak ketawa lepas sepanjang nonton.

Talent lain yang juga saya acungi jempol adalah pasangan papa mamanya Meira (hahaha.. Ini mah luwar biyasaaakkk lucuknya!!), Acho (yang jadi dokter kandungan), Duo Awwe dan Adjisdoaibu (yang juga jadi host di pemutaran Perdana film ini..!!), dan juga komika komika lainnya.

Saya sih mau banget nonton film ini lagi di bioskop!

Anyway, selama pengalaman saya nonton Gala Premiere sejak Lima tahun terakhir… Ini event gala premiere yang niat, berkonsep, dan paling menghibur!! Hostnya yang semangat banget ngelawak terus sepanjang sebelum dan sesudah pemutaran. Kapan lagi ngantri keluar studio kelar nonton ditemani oleh dua host kocak…?!? Mevvaah!! *standing ovation to @Adjisdoaibu @awwe_

IMG_20151228_214215

Ngantre keluar studio gak pernah se-entertaining ini!! x))

Si Bintang utama, Ernest Prakasa sendiri dengan muka sumringah di dekat pintu keluar, asik berinteraksi dengan penontonnya. Juga yang gak kalah keren dan (menurut gue) Cina banget…. Souvenir Gala Premiere berupa Angpau merah mengkilat dengan logo film Ngenest. Ternyata isinya stiker, gantungan kunci, kalender mungil, dan magnet kulkas.. Semuanya berlogo promo film Ngenest. It’s a great strategy sik.. Ketimbang bagi-bagi kaos yang mungkin cuma dipake sesekali doang, itu pun dipake di rumah yang exposure promonya mungkin ga banyak. Mending stiker, gantungan kunci yang mungkin akan dipake dan lebih banyak orang yang liat. Murah dan tujuannya tercapai! Brilian… Me Likey!!

IMG_20151228_233943

Dapet angpau dari Ernest! 🙂

Oh my! Koq saya jadi rasis gini sik?!? Maaf yaa, Nest.. *toyor-toyor gue*

“Filosofi Kopi” the movie

Entah kapan baca buku kumpulan cerpennya Dee Lestari yang Filosofi Kopi ini. Sangking sudah lamanya, saya pun juga sudah lupa sama sekali dengan jalan cerita di cerpennya itu. Mungkin sekitar satu dekade yang lalu, sekitar tahun 2005, seingat saya.

poster film filkop

Buzz film ini memang santer di timeline media sosial yang saya follow, bahkan sejak filmnya belum rilis. Membuat saya berniat menontonnya. Pertama, karena disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Saya menggemari karya-karyanya sejak lama. Dari jaman dia bikin videoklipnya Maliq n D’Essentials, film Hari Untuk Amanda, sampai si Filosofi Kopi ini.

filosofi kopi cerpenKedua, karena film ini diangkat dari tulisannya Dee Lestari. Ga mudah mengejawantahkan karya tulis ke dalam karya audio visual seperti film. Dan sejauh ini, karya karya tulisnya Dee Lestari berhasil diangkat menjadi karya audio visual baik dalam bentuk videoklip lagu maupun film. Ada sensasi yang berbeda saat membaca tulisannya, mendengarkan lagu/musiknya, dan menonton filmnya. Dan saya ingin merasakan sensasi itu lagi saat menonton Filosofi Kopi ini.

Ketiga, saya memang doyan nonton film Indonesia genre non-horror. Keempat, Chicco men! Eh bener kan spellingnya?!? Kayaknya sih bener.. Ini artis sinetron yang kini sudah menjelma jadi artis layar lebar. Gilak, dulu saya kerjaannya mantengin sinetronnya Chicco setiap episode, tiap hari, tiap menit! Sejak nonton film Cahaya dari Timur, kayak gak ada sisa sisa aktor sinetron stripping di karakternya Chicco, bahkan saya sampai lupa bahwa itu Chicco, si artis sinetron stripping yang pernah saya brief di backstage salah satu event awarding di salah satu TV swasta beberapa tahun silam, yang lagi akting jadi pelatih bola. *standing applause*

Review ini bukan untuk memberikan spoiler buat yang belum menontonnya, hehehe… Saya menikmati alur plot ceritanya yang sebenarnya simple, sederhana, dan ringan, pacing tidak terlalu cepat maupun lambat, pas! Konflik pun tidak menukik tajam (seperti film-film bergenre drama kebanyakan), tapi mampu memberikan efek dramatis yang mendalam. Film yang dengan santai menggulirkan kisah kecintaan pada profesi, pada biji kopi, pada persahabatan, dan akhirnya pada inti dari semuanya, keluarga.

Filosofi Kopi mengangkat settting cerita kekinian yang coba di-blend dengan conventional value. Ben dan Jody. Ben mewakili si seniman kopi conventional yang punya obsesi besar. Jody mewakili si business-man urban yang rasional. Plot utama cerita ada pada kisah pertarungan ego keduanya, baik terhadap satu sama lain maupun akhirnya terhadap diri mereka sendiri. Tokoh El masuk sebagai “ujian” keseimbangan antara Ben dan Jody, yang membuat mereka berjarak untuk kemudian bisa sampai pada titik keseimbangan yang lebih ajeg.

Tapi ada sedikit hal yang buat saya ini mengganggu, hal teknis sih. Mungkin kalau pas menonton, kamu gak menyadari hal ini bakalan biasa aja. Masalahnya, saya ngeh! Pergerakan kamera kurang smooth, terutama pada scene yang sebenernya bisa stand-still aja, bener gak sih istilahnya gitu? Jadi terkesan kameranya goyang-goyang. Kalau menyadari hal ini, nontonnya jadi gak nyaman. Jadi selama menonton, saya coba mengabaikan hal tersebut.

Secara keseluruhan, saya menikmati film Filosofi Kopi ini. Film ini mampu menumbuhkan emosi positif menyenangkan dan melegakan setelah menontonnya, jadi kalau ada yang ngajak nonton film ini lagi, saya pasti mau! Tontonlah, dukung Film Indonesia Berkualitas, yuk sebelum film ini turun dari jaringan bioskop Indonesia. 😀