25 Mei 2014. Ini malam pertama kami tinggal di kapal, bermalam di area Gili Lawa. Kami terbangun sedari subuh untuk menikmati permadani taburan bintang di atas sana. Beberapa dari kami memilih tiduran di atas dek kapal. Itu lukisan malam paling indah yang pernah saya lihat di sepanjang hidup saya kala itu. Puas memandangi langit hingga berganti gelap ke terangnya mentari terbit, kami pun bergegas menyantap sarapan pagi kami dan bersiap untuk trekking di Pulau Gili Lawa Darat.
Kawasan Gili Lawa ini merupakan pintu gerbang masuk ke Taman Nasional Komodo. Selain bisa dicapai dari Labuan Bajo seperti yang kami lakukan, bisa pula berlayar melalui jalur laut dari Lombok. Gili Lawa ada dua bagian, Gili Lawa Darat dan Gili Lawa Laut. Biasanya kapal-kapal yang mau berlayar ke TN Komodo bermalam di kawasan Gili Lawa ini agar tidak terkena angin malam dan arus lautnya cenderung lebih tenang.
Ini kapal LOB kami selama 4D3N
Pukul 06.30 WIB, kapal kami pun bersauh, kami turun membawa perlengkapan trekking seadanya. Iya, seadanya aja, trekking mah gak perlu ribet bawa yang gak perlu: Alat dokumentasi, air minum, dan cemilan secukupnya (durasi trekking PP 2-3 jam). Wong dari trip agent-nya juga kurang detail menginformasikan mengenai medannya, jadi ya bener-bener seadanya ala orang kota banget. Memang medannya tidak berat tapi mungkin perlu ada penjelasan lebih detail agar, paling tidak, wisatawan tidak salah menggunakan alas kaki.
Pulau Gili Lawa Darat (Kalau lihat begini, bukit savana yang landai kayaknya medannya gancil yah… aslinya maahh…. -____-“)
Medan trekking di Pulau Gili Lawa Darat ini cukup curam dan berbatu tajam. Perlu kesadaran diri yang tinggi untuk menilai kesanggupan diri naik ke atas sana. Tentunya kami naik pun didampingi guide kami, Mas Bendi. Ya tapi emang hanya bersama Bendi aja, sementara kami bersebelas. Bersebelas dengan kondisi fisik dan pengalaman yang beda-beda. Ada yang sudah terbiasa naik gunung, melakukan trekking, ada pula yang baru pertama kali. Ya, saya ini salah satunya! Iya, ini baru pertama kalinya banget! Karena tidak ada pengalaman sebelumnya, tidak ada bayangan pun mengenai medannya (Gaess, kalau sekedar lihat gambar di Google mah kayaknya gampang, landai aman gitu).
Setengah jam pertama mendaki, Belona memutuskan menunggu di bawah saja sementara ada satu orang yang terus melaju bersama guide kami. Iya, dari kami bersebelas, hanya Setian lah yang sudah pernah naik gunung, jadi sekedar trekking di bukit saja mungkin tidak sulit untuknya. Kami mempersilahkannya untuk terus melaju dan melaporkan pada kami pemandangan dari atas sana. Belasan menit kemudian, Siska dan Tasya memutuskan untuk tidak melanjutkan dan kembali turun.
Bersebelas, masih lengkap! Sampai di titik ini saja sebenarnya sudah bisa dapet view mainstream berfoto di Gili Lawa Darat 😉
Sebenarnya, untuk mendapatkan view populer Pulau Gili Lawa Darat tidak perlu hingga sampai ke puncaknya. Tapi namanya sudah jauh jauh sampai ke pulau ini, kalau tidak diusahakan semaksimal mungkin koq ya sayang gitu, hehehe.. Maka, kami yang bertujuh: Saya, Anita, Felona, Wiri, Jessica, Fidia, Dito pun terus melaju.
Kalo balik badan, foto di atas ini adalah view sebelah kanan. Sementara, foto di bawah ini adalah view samping kiri (yang bisa dinikmati sambil trekking naik, tengok sebelah kanan…). Kalau kata anak jaman sekarang, PETJAAAAHHH, Meeennn!!! <3<3<3
Meski banyak berhenti untuk istirahat ambil napas dan foto-foto, kami persisten terus naik. Medan makin curam dengan bebatuan yang makin tajam, makin seringpula kami terperosok terpeleset terjatuh tertatih, kami terus melaju tanpa guide. Kebetulan Bendi, guide kami, sudah duluan sampai di atas sana bersama Setian. Saya berada di barisan paling depan, berjalan pelan-pelan, nyaris merangkak sanking curamnya, pandangan mata terus ke depan mencari jalan ke atas. Dalam hati terus bergumam, “Come on, don’t give up, dikit lagi sampaaii..” Hingga tiba di satu titik terlintas di pikiran “Ntar turunnya gimana ya, naiknya aja begini?”, saat itulah saya refleks menoleh ke belakang. Saya terhenyak terduduk, kaki gemeter, (katanya Anita yang tepat berada di belakang saya) muka pucat pasi. Mencoba terus tenang dan mencari pijakan dan pegangan pada bebatuan yang ajeg. Seketika itu pula, Anita refleks juga menoleh ke belakang dan bereaksi yang kurang lebih sama seperti saya, shock dengan ketinggian dan kecuraman yang sudah kami lalui dan jadi ngeri sendiri.
“Gimana nih? Lanjut ga?”, saya meragu, karena udah tinggal sedikit lagi sampai puncak bukit tapi treknya makin curam dan tajam.
“Eerr… Gw sampai sini aja deh..”, ujar yang lain.
Kami pun mencari pijakan yang agak landai dan berfoto bersama. Yeaah, we are the mid-trekking team!! We did it!! Bangga!
Bertujuh! Kami tim middle tracking!! Ini fotonya sambil deg-degan jaga keseimbangan… Megang Tongsis GoPro-nya aja mesti dua orang, hahaha…
Kalau naiknya kami setengah jongkok merangkak, maka turunnya pun kami sambil duduk memerosotkan diri. Sebenarnya bisa sih sambil berdiri tapi alas kaki kami tidak memungkinkan, terlalu bahaya. Metode paling aman menggunakan pantat sendiri, hahaha.. Meski tidak sampai atas dan melihat view di balik bukit ini dengan mata kepala sendiri, kami mesti cukup puas dengan pencapaian kami, anak-anak kota yang ga pernah trekking dengan alas kaki yang mungkin kurang proper. Tiba di kapal, nasi goreng telah menanti kami… Yeaaayyy!!
Ternyata Setian sampai kapal lebih dahulu, karena ia dan Bendi melalui jalur trekking lain yang lebih landai. Aah, lesson learned banget nih: Kalau ingin sampai puncak, ga perlu lah nengok-nengok ke belakang, jadinya malah ngeri sendiri dan kembali dikuasai ketakutan-ketakutan. Soal nanti turunnya gimana ya bisa dipikirkan lagi nanti, hihihi.. 😀